Jakarta, JMRN - Dalam konteks pemberdayaan demokrasi dan keadilan masyarakat yang ditinjau dari etika komunikasi politik, beberapa pasal dalam UU MD3 telah mencederai demokrasi. Hal ini disampaikan Muhammad Faisal selaku ahli Pemohon Perkara Nomor 25/PUU-XVI/2018 dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), Rabu (30/5).
Faisal juga menambahkan Pasal 122 huruf l berisi tentang Kewenangan Majelis Kehormatan Dewan atau MKD DPR RI untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain bagi orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR terhadap para pengkritiknya yang umumnya merupakan pemberi mandat bagi para anggota DPR tersebut. Menurutnya, pasal tersebutmerupakan bentuk kriminalisasi terhadap rakyat yang kritis terhadap DPR. Walaupun penegakan hukumnya tetap dilakukan oleh lembaga kepolisian.
“Pasal tersebut dapat membangun ego dan emosi anggota-anggota DPR yang bisa dan dapat bertindak otoriter, serta sewenang-wenang. Akibatnya, anggota DPR akan semakin jauh dari prinsip-prinsip etika politik, hingga tidak lagi tersentuh oleh masyarakat, kecuali untuk kepentingan pemilihan umum yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Terkait Pasal 245 ayat (1) UU MD3, pakar komunikasi politik tersebut menjelaskan juga diatur mengenai syarat pemeriksaan anggota DPR atas dugaan tindak pidana oleh aparat hukum, harus terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan Majelis Kehormatan Dewan sebelum mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden. Pasal tersebut, jelasnya, menjadi semacam pasal karet yang dapat saja melanggar etika karena akan menguntungkan pihak-pihak yang berada dalam kekuasaan.
“Pasal ini seakan-akan menjadi tameng atau benteng bagi para anggota DPR agar tidak mudah diproses hukum ketika suatu saat nanti terjerat sangkaan tindak pidana, sekalipun tindakan administratif merasa perlu untuk diatur, maka Ahli sependapat dengan keinginan Para Pemohon sepanjang batasan waktu persetujuan presiden,” jelas Faisal.
Sementara itu, Sabam Leo Batubara selaku ahli Pemohon Perkara Nomor 26/PUU-XVI/2018 menyatakan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR adalah tidak tepat. Sebab, lanjutnya, MKD adalah lembaga kode etik DPR. Lembaga kode etik aturannya bersifat dari, oleh, dan untuk kalangan sendiri. Adapun kewenangan pengambilan langkah hukum DPR sama dengan kewenangan lembaga yudikatif. Ini baginya merusak sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sebelumnya, para Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018, 17/PUU-XVI/2018, 18/PUU-XVI/2018, 21/PUU-XVI/2018, 25/PUU-XVI/2018, 26/PUU-XVI/2018, 28/PUU-XVI/2018, 34/PUU-XVI/2018, dan 37/PUU-XVI/2018 mengajukan uji materi UU MD3 ke MK. Para Pemohon menguji Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, serta Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Aturan yang dipersoalkan Pemohon, yakni mengenai pemanggilan paksa oleh DPR terhadap warga masyarakat dan badan hukum yang berbasis organisasi kemasyarakatan.Sementara Pemohon Perkara Nomor 39/PUU-XVI/2018 melakukan uji materi pada Pasal 180A dan Pasal 427A huruf a. Menurut para Pemohon, akibat pasal-pasal a quo rakyat merasa terancam dikriminalisasi jika mengkritik DPR.
Sumber: MAHKAMAH KONSTITUSI
Faisal juga menambahkan Pasal 122 huruf l berisi tentang Kewenangan Majelis Kehormatan Dewan atau MKD DPR RI untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain bagi orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR terhadap para pengkritiknya yang umumnya merupakan pemberi mandat bagi para anggota DPR tersebut. Menurutnya, pasal tersebutmerupakan bentuk kriminalisasi terhadap rakyat yang kritis terhadap DPR. Walaupun penegakan hukumnya tetap dilakukan oleh lembaga kepolisian.
“Pasal tersebut dapat membangun ego dan emosi anggota-anggota DPR yang bisa dan dapat bertindak otoriter, serta sewenang-wenang. Akibatnya, anggota DPR akan semakin jauh dari prinsip-prinsip etika politik, hingga tidak lagi tersentuh oleh masyarakat, kecuali untuk kepentingan pemilihan umum yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Terkait Pasal 245 ayat (1) UU MD3, pakar komunikasi politik tersebut menjelaskan juga diatur mengenai syarat pemeriksaan anggota DPR atas dugaan tindak pidana oleh aparat hukum, harus terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan Majelis Kehormatan Dewan sebelum mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden. Pasal tersebut, jelasnya, menjadi semacam pasal karet yang dapat saja melanggar etika karena akan menguntungkan pihak-pihak yang berada dalam kekuasaan.
“Pasal ini seakan-akan menjadi tameng atau benteng bagi para anggota DPR agar tidak mudah diproses hukum ketika suatu saat nanti terjerat sangkaan tindak pidana, sekalipun tindakan administratif merasa perlu untuk diatur, maka Ahli sependapat dengan keinginan Para Pemohon sepanjang batasan waktu persetujuan presiden,” jelas Faisal.
Sementara itu, Sabam Leo Batubara selaku ahli Pemohon Perkara Nomor 26/PUU-XVI/2018 menyatakan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR adalah tidak tepat. Sebab, lanjutnya, MKD adalah lembaga kode etik DPR. Lembaga kode etik aturannya bersifat dari, oleh, dan untuk kalangan sendiri. Adapun kewenangan pengambilan langkah hukum DPR sama dengan kewenangan lembaga yudikatif. Ini baginya merusak sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sebelumnya, para Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018, 17/PUU-XVI/2018, 18/PUU-XVI/2018, 21/PUU-XVI/2018, 25/PUU-XVI/2018, 26/PUU-XVI/2018, 28/PUU-XVI/2018, 34/PUU-XVI/2018, dan 37/PUU-XVI/2018 mengajukan uji materi UU MD3 ke MK. Para Pemohon menguji Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, serta Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Aturan yang dipersoalkan Pemohon, yakni mengenai pemanggilan paksa oleh DPR terhadap warga masyarakat dan badan hukum yang berbasis organisasi kemasyarakatan.Sementara Pemohon Perkara Nomor 39/PUU-XVI/2018 melakukan uji materi pada Pasal 180A dan Pasal 427A huruf a. Menurut para Pemohon, akibat pasal-pasal a quo rakyat merasa terancam dikriminalisasi jika mengkritik DPR.
Sumber: MAHKAMAH KONSTITUSI
Komentar Anda
0 comments:
Terima kasih atas kunjungan Saudara ke laman berita Jaringan Media Radio Nasinal