Batam, RN - Kurang tersedianya lapangan kerja di tanah air menyebabkan warga Negara Indonesia memilih bekerja di luar negeri. Selain itu, terminologi upah murah menjadikan pekerja Indonesia yang selanjutnya disebut TKI dianggap mendapat upah yang tidak layak di dalam negeri, sementara bekerja di luar negeri upah yang akan diterima memberi harapan bakal adanya perubahan sosial khususnya menyangkut kesejahteraan.
Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) pun tumbuh dan berkembang.Akibatnya terjadi persaingan yang ketat, dan diantara PPTKIS ada yang tidak profesial. Dikatakan tidak professional karena dalam menerima calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat TKI tidak jujur dengan cara memalsukan dokumen seperti usia yang sejatinya usia 13 tahun dibuat menjadi 20 tahun, selain itu menyangkut pendidikan, serta pelatihan yang sertifikatnya dibuat tidak sesuai dengan kompetensi calon TKI tersebut.
Perbuatan ini berakibat pada TKI yang bekerja di luar negeri mendapat perlakuan kurang manusiawi oleh majikan karena dianggap tidak mampu bekerja. Penyiksaan, dikejar-kejar polisi di negera tempat bekerja, hingga mendapat sanksi hukum berat seperti hukuman seumur hidup, hukuman mati dengan cara digantung dan lainlain.Tambahan keberangkatan TKI melalui jalur illegal, yang ini banyak terdapat di Kepulauan Riau khusunya Batam.
BACA JUGA:
Kasus Walfrida, TKI asal Dusun Kolo Ulun, Desa Faturika, Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu, Kupang, Nusa Tenggara Timur terancam hukuman mati. Wanita kelahiran 12 Oktober 1993 yang ketika berangkat ke Malaysia tahun 2010 usianya 13 tahun (tempo.co). Usia yang masuk kategori belum dewasa dan cakap membuat perjanjian sesuai tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata. Dan usia 13 tahun tergolong usia belum cakap untuk melakukan perjanjian sesuai peraturan perundang-undangan khususnya syarat sahnya perjanjian.
Dalam melakukan perjanjian (Miru dan Pati) maka ada 4 (empat ) hal yang menjadi perhatian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata syarat sah suatu perjanjian sebagai berikut:
Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) pun tumbuh dan berkembang.Akibatnya terjadi persaingan yang ketat, dan diantara PPTKIS ada yang tidak profesial. Dikatakan tidak professional karena dalam menerima calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat TKI tidak jujur dengan cara memalsukan dokumen seperti usia yang sejatinya usia 13 tahun dibuat menjadi 20 tahun, selain itu menyangkut pendidikan, serta pelatihan yang sertifikatnya dibuat tidak sesuai dengan kompetensi calon TKI tersebut.
Perbuatan ini berakibat pada TKI yang bekerja di luar negeri mendapat perlakuan kurang manusiawi oleh majikan karena dianggap tidak mampu bekerja. Penyiksaan, dikejar-kejar polisi di negera tempat bekerja, hingga mendapat sanksi hukum berat seperti hukuman seumur hidup, hukuman mati dengan cara digantung dan lainlain.Tambahan keberangkatan TKI melalui jalur illegal, yang ini banyak terdapat di Kepulauan Riau khusunya Batam.
BACA JUGA:
Kasus Walfrida, TKI asal Dusun Kolo Ulun, Desa Faturika, Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu, Kupang, Nusa Tenggara Timur terancam hukuman mati. Wanita kelahiran 12 Oktober 1993 yang ketika berangkat ke Malaysia tahun 2010 usianya 13 tahun (tempo.co). Usia yang masuk kategori belum dewasa dan cakap membuat perjanjian sesuai tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata. Dan usia 13 tahun tergolong usia belum cakap untuk melakukan perjanjian sesuai peraturan perundang-undangan khususnya syarat sahnya perjanjian.
Dalam melakukan perjanjian (Miru dan Pati) maka ada 4 (empat ) hal yang menjadi perhatian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata syarat sah suatu perjanjian sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan. Kesepakatan tersebut mengikat dirinya dan terjadi persesuaian kehendak antar keduanya atau yang melakukan perjanjian, bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk sepakat mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan.Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2. Cakap untuk melakukan suatu perikatan. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.
3. Suatu hal tertentu. Apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit sudah harus ditentukan jenisnya, bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada ditangan siberutang pada waktu perjanjian di buat.
4. Causa yang halal/ sebab-sebab yang halal. Causa atau sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, dalam suatu perjanjian jual beli isinya adalah, pihak yang satu menghendaki uang, dalam perjanjian sewa-menyewa suatu pihak mengingini kenikmatan suatu barang, pihak yang lain menghendaki uang. Walfrida yang berusia 13 tahun belum tergolong orang dewasa, sebab yang masuk kategori dewasa terbagi menjadi 2 (dua) yakni (arfkomunika.blogspot.co.id):
1. Dewasa awal usia 12-16 tahun
2. Dewasa akhir usia 17-25 tahun
Pada kasus yang diputus dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/ Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, yang dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut
sampai anaknya berumur 18 tahun.
Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 tahun. Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum (www.hukumonline.com).
Dilihat dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 26 maka:” Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Oleh sebab itu, dilihat dari ketentuan tersebut, Walfrida masih tergolong anak, dan masih dibawah
pengawasan orang tua, dan apabila dipekerjakan sebagai tenaga kerja Indonesia, maka itu adalah perbuatan melawan hukum.
Disebut perbuatan melawan hukum karena tidak mengindahkan apa yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya menyangkut syarat keterangan hari dan tanggal kelahiran Walfrida. R.Soesuli dalam bukunya berjudul: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segalah surat , baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya (www.hukumonline.com).
METODOLOGI
Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif, maka teknik analisa datanya menggunakan model analisas kualitatif interaktif. Dalam teknik analisa data ini setelah data terkumpul selanjutnya bisa dikemukakan dalam sajian data ataupun dengan langkah mengolah data (mereduksi data) yang diperoleh dari sumber kepustakaan (literature-literatur, undangundang, surat khabar maupun sumber kepustakaan lainnya), ataupun dari data-data yang diperoleh di lapangan dari informan yang berkompeten dalam memberikan data mengenai Warga Negara Indoneisa (WNI) dan tenaga kerja kerja (TKI) di luar negeri, berdasarkan Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 01/A/ OT/I/2006/01 Tahun 2006, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI) bertugas memberikan perlindungan WNI di dalam dan luar negeri, badan hukum Indonesia di luar negeri, pengawasan kekonsuleran, serta bantuan sosial dan repatriasi WNI.
Dalam penulisan jurnal ini, penulis menggunakan jenis penulisan hukum normatif, yaitu asumsi dasarnya dari peraturan perundang-undangan (Ali dan Heryani, 2012). Kajian normatif memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, apa yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian normative sifatnya preskriptif, yaitu bersifat menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian-kajian yang normatiF terhadap hukum antara lain: Ilmu Hukum Pidana dan Ilmu Hukum Tata Negara Positif. Dengan perkataan lain, kajian normative mengkaji law in books (Ali dan Heryani, 2012).
PEMBAHASAN
Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri tidak hanya TKI, tapi ada pula mahasiswa dan/atau isteri yang ikut suaminya, atau sebaliknya.Namun yang sering menimbulkan persoalan adalah TKI karena keberadaan mereka illegal atau bekerja di luar negeri tanpa memiliki dokumen yang sah, dan kepergian TKI pun illegal, yang diantar oleh agen TKI melalui cara jalan pintas yang disebut pelabuhan tikus. Pelabuhan tikus ini banyak terdapat di Batam.
Di kota Batam, menurut catatan Imigrasi memiliki 7 (tujuh) tempat pemeriksaan imigrasi (TPI) laut yang berada di pelabuhan Sekupang, Kabil (pelabuhan barang), Harbor Bay, Batam Centre, Batu Ampar (pelabuhan barang), Marina City dan Nongsa. Selain itu juga terdapat 1 TPI udara yang berada di bandara Hang Nadim, Batam (Laman Resmi Imigrasi).
Pelabuhan illegal itu tidak hanya digunakan untuk menyelundupkan TKI, tapi menjadi tempat masuknya warga Negara asing atau imigran gelap dari Negara-negara yang tengah konflik seperti Iran, Afganistan, dan lain-lain. Dan setelah TKI tiba di Negara yang dituju, maka di sini peran Kementerian Luar Negeri yang diwajibkan Negara untuk mencari, dan mengetahui dimana para TKI itu berada, apalagi terkait kasus.
Fungsi BNP2TKI di dalam negeri ada yang disebut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan selanjutnya disingkat BNP2TKI di Luar Neneri. Lembaga ini bertanggungjawab mencegah calon TKI dan/WNI bepergian keluar negeri dengan tujuan tidak jelas, atau tidak dilengkapi dokumen keimigrasian, atau dokumen ketenagakerjaan yang diatur di Negara tujuan dan Negara aasal TKI.
Lahirnya BNP2TKI ketika pada 1994 Pusat AKAN dibubarkan dan fungsinya diganti Direktorat Ekspor Jasa TKI (eselon II) di bawah Direktorat Jenderal Binapenta.Namun pada 1999 Direktorat Ekspor Jasa TKI diubah menjadi Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PTKLN) (www.bnp2tki.go.id).
Dalam upaya meningkatan kualitas penempatan dan keamanan perlindungan TKI telah dibentuk pula Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI) pada 16 April 1999 melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang keanggotannya terdiri 9 instansi terkait lintas sektoral pelayanan TKI untuk meningkatkan program penempatan dan perlindungan tenaga kerja luar negeri sesuai lingkup tugas masing-masing.
Artikel ini ditulis dalam format Jurnal Akademik oleh Rumbadi, S.H.,M.H, Dosen pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Riau Kepulauan.
EDITOR : ANDRI ARIANTO
Komentar Anda