Batam, RN - Berita yang cukup menarik saat ini terkait praperadilan adalah mengenai dikabulkannya gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Budi Gunawan melalui Tim Kuasa Hukumnya. Hal ini menarik untuk disikapi khususnya secara hukum acara pidana.
Perlu ditekankan bahwa, dalam hal ini Penulis tidak ada tendensius terhadap pihak manapun, namun Penulis akan mencoba menguraikan sesuai dengan kapabilitasnya terutama mengenai aturan-aturan yang ada mengenai Praperadilan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Diawal permohonan gugatan Praperadilan dilakukan, telah memunculkan persepsi yang bermacam-macam, terutama mengenai ‘apakah sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap seseorang’ dapat dikategorikan sebagai salah satu objek dalam Praperadilan. Tentu dengan adanya polemik ini, telah terjadi penafsiran hukum yang berbeda dari masing-masing pihak terutama yang terkait dalam masalah ini. Bagi tim kuasa hukum tentunya ini hal lumrah dalam pembelaan terhadap kliennya, sepanjang cara-cara yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada. Toh ini usaha dalam pembelaan yang dilakukan, pada akhirnya hakim yang memutuskan.
Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Bila kita melihat isi pasal di atas, menurut hemat penulis bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna yang tanpa ada kesalahan, sehingga siapapun dia, termasuk aparat penegak hukum, dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap tindakannya terutama menyangkut dengan isi Pasal 77 di atas.
Dan itu telah diatur dalam ketentuan undang-undang. Intinya, bagi seorang tersangka, apabila merasa bahwa tindakan penangkapan atau penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap dirinya merupakan tindakan yang tidak sah, maka undang-undang memberikan hak kepada dirinya untuk melakukan permintaan pemeriksaan (atau bahasa yang sering dipakai adalah ‘gugatan’) atas tindakan tersebut kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 79 KUHAP). Lalu dalam Pasal 81 KUHAP jika seandainya telah terbukti bahwa tindakan penangkapan atau penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum merupakan tindakan yang tidak sah, maka tersangka ataupun pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi.
Khusus mengenai ganti kerugian, lebih diperjelas lagi dalam Pasal 95 (2) KUHAP menyatakan sidang praperadilan juga dapat memutus tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri. Perlu diingat bahwa pra peradilan diajukan sebelum perkara tersebut masuk ke tahap pemeriksaan oleh pengadilan.
Demikian juga bagi penyidik atau penuntut umum ataupun pihak ketiga, apabila merasa bahwa penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan adalah merupakan tindakan tidak sah, dapat mengajukan permintaan pemeriksaan pada ketua pengadilan negeri (Pasal 80 KUHAP). Ini mengindikasikan bahwa penghentian penyidikan dan penuntutan tidak bisa dilakukan secara diam-diam, namun harus berdasarkan prosedur yang ada.
Namun dalam buku karangan Kombes Pol (pnw) M. Karjadi dan AKBP (pnw) R. Soesilo dengan judul KUHAP dengan Penjelasan Resmi dan Komentar dijelaskan bahwa “penghentian penuntutan” seperti tersebut di atas tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Oleh karena itu menurut hemat penulis berdasarkan penjelasan tersebut, penyampingan perkara untuk kepentingan umum bukan merupakan objek dari gugatan praperadilan.
Lalu bagaimana proses pemeriksaan praperadilan sesuai KUHAP? Dalam KUHAP dijelaskan bahwa dalam pemeriksaannya hakim juga harus mendengarkan keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang. Pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari, hakim harus sudh menjatuhkan putusannya.
Dalam Pasal 82 ayat (3) dijelaskan bahwa isi putusan hakim harus memuat hal-hal sebagai berikut:
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umm pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal putusan penetapan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda tersebut disita;
Dari beberapa uraian-uaraian di atas ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan, tentunya sekali lagi tanpa ada tendensius dan sentimental apapun terhadap pihak lain. Disini hanya mencoba menguraiakan lebih jauh tentang praperadilan seperti yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan Indonesia. Hal-hal yang ingin disampaiakan antara lain:
1. Objek atau hal-hal yang dapat dijadikan permintaan pemeriksaan praperadilan adalah sudah tertera secara normatif sesuai dengan yang tertera dalam KUHAP. Dan dari sekian pasal-pasal yang ada, tidak ada satupun yang mencantumkan baik tersirat maupun tersurat tentang “sah atau tidaknya penetapan tersangka”;
2. Dalam hukum pidana dijelaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Apakah hakim menafsirkan objek praperadilan dengan pernyataan tersebut? Tentunya itu menjadi kewenangan hakim sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun menurut penulis, menafsirkan suatu pasal-pasal tentunya tidak bisa secara sembarangan, apalagi seperti dalam Pasal 77 KUHAP yang secara kasat mata tidak ada ruang lagi bagi penafsiran. Mungkin akan berbeda halnya, jika seandaainya dalam Pasal 77 KUHAP terdapat ayat lainnya lagi yang menyatakan “sah atau tidaknya tindakan penyidikan dan penuntutan lainnya menurut hukum yang bertanggung jawab”. Seandainya ada ayat tambahan tersebut, hakim mungkin boleh dan sah-sah saja menafsirkan bahwa “sah atau tidaknya penetapan tersangka” termasuk dalam objek gugatan praperadilan. Namun faktanya, dalam Pasal 77 KUHAP tidak terdapat ayat tersebut.
3. Dalam hal putusan praperadilan, dalam KUHAP (Pasal 82 (3)) ada beberapa kategori yang harus dimuat dan dapat menjadi acuan hakim dalam menetapkan putusannya. Penulis melihat, dari sekian kategori yang harus dimuat tersebut, tidak ada satupun poin yang menerangkan “dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penetapan tersangka tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka”.
Oleh karena itu Penulis berpendapat bahwa, gugatan praperadilan yang dilakukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan melalui Tim Kuasa hukumnya, jika dilihat secara langsung dalam aturan KUHAP yang menjadi acuan hukum acara pidana di Indonesia, sesungguhnya tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bahwa “sah atau tidaknya penetapan tersangka” menjadi objek praperadilan dalam aturan KUHAP.
Maka, seharusnya hakim menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan. Biarlah nanti majelis hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan yang memutuskan, karena disitulah majelis hakim dapat menggali lebih dalam lagi termasuk apakah Komjen Pol Budi Gunawan termasuk penyelenggara negara atau bukan dan juga hal-hal lainnya, sehingga nantinya akan lahir putusan lepas, bebas ataupun malah dipidana.
Lalu dengan adanya kasus ini, apakah sekarang “sah atau tidaknya penetapan tersangka” telah menjadi objek dari gugatan praperadilan?
Artikel ini ditulis oleh Rustam, S.H.,M.H, Dosen pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Riau Kepulauan.
EDITOR : ANDRI ARIANTO
Komentar Anda