Jakarta, RN - Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pendidikan Tinggi Kemenristek Dikti Ali Gufron Mukti dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen(UU Guru dan Dosen) pada Selasa (5/12) siang menyatakan bahwa, Syarat untuk menduduki jabatan akademik profesor bukan persoalan konstitusionalitas norma undang-undang, melainkan kebijakan terbuka pembentuk undang-undang. Tidak ada persoalan diskriminasi dalam pengaturan persyaratan dan tidak terbatas pada profesor riset saja, tetapi termasuk profesor pendidikan dan profesor pengabdian masyarakat sepanjang memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditentukan undang-undang.
Pemerintah berpendapat adanya persyaratan berpendidikan doktor bagi calon profesor karena profesor merupakan jabatan akademik yang berkiprah pada pendidikan formal. Selain itu, lanjut Ali, profesor berfungsi untuk menjalankan tridharma perguruan tinggi, yakni bidang pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat sehingga mensyaratkan kualifikasi akademik doktor yang merupakan gelar pendidikan formal bagi pendidik yang akan menduduki jabatan profesor.
“Salah satu fungsi jabatan akademik profesor adalah mengajar dan membimbing peserta pendidikan program doktor. Sehingga sangat logis jika profesor tersebut adalah memiliki jabatan akademik doktor. Bagaimana mungkin orang yang tidak bergelar doktor dan tidak pernah mengenyam pendidikan doktor akan mengajar dan membimbing peserta pendidikan doktor?,” kata Ali.
Selain itu, Pemerintah menilai UU Guru dan Dosen menjamin hak-hak dasar dan memberikan perlindungan kepada warga masyarakat. Ali juga menjelaskan UU a quo merupakanusaha Pemerintah dalam menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dan upaya Pemerintah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum. Kemudian Ali menegaskan bahwa UU a quo sesuai dengan Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) maupun Pasal 32 ayat (1) UUD 1945.
Berlakunya undang-undang a quo, menurut Pemerintah, bukan merupakan bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Hal ini mendasarkan prinsip keadilan “perlakuan yang sama ditujukan pada kondisi yang sama”. Jabatan akademik profesor memiliki kondisi khusus dan berbeda, terutama terkait dengan fungsinya dalam tridharma perguruan tinggi yang berbeda dengan jabatan akademik di bawah profesor.
Menanggapi permohonan Pemohon menyangkut ketentuan Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen, Pemerintah menilai permohonan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai sebagai surat putusan Mahkamah Konstitusi adalah kabur.
“Dalam permohonannya, Pemohon menguraikan permasalahan hukum konkret yang dialami Pemohon terkait norma yang dimohonkan pengujiannya. Pemerintah tidak menemukan uraian yang cukup mengenai isu konstitusionalitas. Menurut Pemerintah, pencampuradukan antara posita yang berisi uraian kasus konkret dengan petitum yang berisi pernyataan inkonstitusionalitas norma undang-undang terhadap UUD 1945 telah mengakibatkan permohonan Pemohon menjadi kabur,” papar Ali.
Pemohon Perkara Nomor 87/PUU-XV/2017 adalah Suharto yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya di Malang. Pemohon menguji Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosenyang menyebutkan, “Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor”. Pemohon yang telah bekerja sebagai dosen hampir 30 tahun merasa terhalang kenaikan pangkat karena aturan a quo
REDAKSI |***
EDITOR : ANDRI ARIANTO
Pemerintah berpendapat adanya persyaratan berpendidikan doktor bagi calon profesor karena profesor merupakan jabatan akademik yang berkiprah pada pendidikan formal. Selain itu, lanjut Ali, profesor berfungsi untuk menjalankan tridharma perguruan tinggi, yakni bidang pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat sehingga mensyaratkan kualifikasi akademik doktor yang merupakan gelar pendidikan formal bagi pendidik yang akan menduduki jabatan profesor.
“Salah satu fungsi jabatan akademik profesor adalah mengajar dan membimbing peserta pendidikan program doktor. Sehingga sangat logis jika profesor tersebut adalah memiliki jabatan akademik doktor. Bagaimana mungkin orang yang tidak bergelar doktor dan tidak pernah mengenyam pendidikan doktor akan mengajar dan membimbing peserta pendidikan doktor?,” kata Ali.
Selain itu, Pemerintah menilai UU Guru dan Dosen menjamin hak-hak dasar dan memberikan perlindungan kepada warga masyarakat. Ali juga menjelaskan UU a quo merupakanusaha Pemerintah dalam menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dan upaya Pemerintah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum. Kemudian Ali menegaskan bahwa UU a quo sesuai dengan Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) maupun Pasal 32 ayat (1) UUD 1945.
Berlakunya undang-undang a quo, menurut Pemerintah, bukan merupakan bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Hal ini mendasarkan prinsip keadilan “perlakuan yang sama ditujukan pada kondisi yang sama”. Jabatan akademik profesor memiliki kondisi khusus dan berbeda, terutama terkait dengan fungsinya dalam tridharma perguruan tinggi yang berbeda dengan jabatan akademik di bawah profesor.
Menanggapi permohonan Pemohon menyangkut ketentuan Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen, Pemerintah menilai permohonan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai sebagai surat putusan Mahkamah Konstitusi adalah kabur.
“Dalam permohonannya, Pemohon menguraikan permasalahan hukum konkret yang dialami Pemohon terkait norma yang dimohonkan pengujiannya. Pemerintah tidak menemukan uraian yang cukup mengenai isu konstitusionalitas. Menurut Pemerintah, pencampuradukan antara posita yang berisi uraian kasus konkret dengan petitum yang berisi pernyataan inkonstitusionalitas norma undang-undang terhadap UUD 1945 telah mengakibatkan permohonan Pemohon menjadi kabur,” papar Ali.
Pemohon Perkara Nomor 87/PUU-XV/2017 adalah Suharto yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya di Malang. Pemohon menguji Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosenyang menyebutkan, “Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor”. Pemohon yang telah bekerja sebagai dosen hampir 30 tahun merasa terhalang kenaikan pangkat karena aturan a quo
REDAKSI |***
EDITOR : ANDRI ARIANTO
Komentar Anda