Jakarta, RN - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 162 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rabu (1/11). Agenda Perkara Nomor 74/PUU-XV/2017 tersebut, yakni mendengarkan keterangan Presiden dan DPR.
Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Ninik Hariwanti mewakili Pemerintah menerangkan bahwa Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang diuji tidak mengurangi atau menghilangkan hak setiap orang termasuk Pemohon untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dalil Pemohon. Ninik memaparkan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP merupakan salah satu ketentuan dalam proses peradilan.
“Pasal a quo secara normatif tidak mengurangi dan membatasi hak seseorang atau hak Pemohon untuk menjalani proses peradilan dalam kasus hukum terutama untuk memberikan kesaksian oleh para pihak,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selain itu, Ninik menyebut Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP justru memberikan kepastian hukum sebagai wujud negara hukum yang bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan hukum, terutama dalam proses peradilan. Dengan ketentuan pasal a quo, tidak ada alasan dihentikannya proses hukum karena alasan implementasi norma. “Sebaliknya, jika terjadi suatu permasalahan sebagaimana pasal a quo, kemudian proses hukum dihentikan, justru dapat mencederai perwujudan negara hukum itu sendiri,” terangnya.
Terkait Pasal 184 KUHAP
Pemerintah juga menilai penerapan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP juga dalam rangka memperkuat Pasal 184 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memeroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi. Pasal a quo merupakan pasal pengecualian yang menjadi sah demi hukum, jika alat bukti atau saksi yang sah perolehannya, kecuali dengan alasan yang sudah diatur. Sehingga kesaksiannya tidak menjadi batal demi hukum.
“Jika kesaksian sebagaimana dimaksud pasal a quo dianggap batal demi hukum dengan alasan tidak dapatnya hadir di persidangan, maka hal tersebut dapat mengurangi atau menghilangkan syarat dua alat bukti, sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP. Hal yang demikian merupakan situasi yang dapat memberikan situasi yang menimbulkan ketidakpastian hukum, yang kemudian dapat juga menimbulkan ketidakadilan bagi pihak yang dirugikan. Akibat perbuatan pidana yang jika dengan alasan sebagai dimaksud oleh Pemohon akan dapat meloloskan terdakwa dari jeratan hukum karena kesaksiannya dianggap batal karena ketidakhadirannya yang kemudian proses hukum dapat dihentikan dengan alasan dimaksud,” tegas Ninik.
Bukan Masalah Konstitusionalitas Norma
Ninik juga menuturkan Pemerintah memandang tak ada hubungan sebab akibat (clausal verband) antara kerugian yang dialami Pemohon yang bersifat spesifik dengan pemberlakuan pasal tersebut. Selain itu, kerugian Pemohon bukanlah tergolong kerugian konstitusional.
“Pelaksanaan pasal a quo merupakan pasal yang dapat meringankan atau memberatkan terdakwa. Pelaksanaan pasal a quo dapat dilaksanakan oleh kedua pihak, baik penuntut umum juga terhadap terdakwa. Dalam kerugian semacam ini, merupakan kerugian yang wajar dalam suatu sengketa hukum dan hal tersebut bukan merupakan kerugian konstitusional. Kerugian yang didalilkan Pemohon akibat berlakunya pasal a quo merupakan kerugian secara implementatif yang dapat terjadi oleh para pihak yang tergantung bagaimana kekuatan pembuktiannya,” paparnya.
Teleconference Tidak Wajib
Terkait penggunaan teleconference, Pemerintah memberikan pandangan pemeriksaan secara teleconference di Indonesia belum diatur dalam KUHAP, namun telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 112PK/PID/2006. Dalam putusan tersebut, antara lain disebutkan bahwa berdasarkan yurisprudensi, pemeriksaan saksi melalui teleconference telah dipraktikan di dalam beberapa perkara, tetapi berbeda dengan sistem hukum common law. Dalam sistem common law seperti yang dianut oleh Indonesia, yurisprudensi hanya bersifat persuasif, sehingga tidak ada kewajiban bagi para hakim di Indonesia untuk menggunakan teleconference.
“Karena selain alat bukti melalui teleconference tidak termasuk ke dalam alat bukti yang sah. Menurut Pasal 184 KUHAP, kekuatan pembuktian dari teleconference tersebut juga sangat bergantung pada penilaian hakim. Berdasarkan yurisprudensi tersebut di atas, maka diperlukan izin dari majelis hakim yang bersangkutan karena hal tersebut menjadi hak dan/atau kewenangannya sebagai aparat penegak hukum di dalam memeriksa atau mengadili sebuah perkara yang diajukan kepadanya untuk mengungkap kebenaran materiil. Jadi, pemeriksaan saksi melalui teleconference bukanlah merupakan suatu keharusan menurut hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia,” tandasnya.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai Pasal 162 ayat (1) bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan mengacu pada Pasal 28D UUD 1945. Pasal a quo menyebut seorang saksi boleh tidak hadir di persidangan dan cukup menyampaikan keterangannya secara tertulis. Namun, keterangannya tersebut sama nilainya dengan saksi yang hadir dipersidangan. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut berpotensi menghilangkan hak konstitusional seorang terdakwa. Pemohon juga menilai pasal tersebut rentan diselewengkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebab keterangan saksi tersebut tidak bisa dibantah saksi-saksi yang lain, tidak bisa dikonfrontir dengan keterangan yang lain, ataupun tidak bisa ditanya oleh terdakwa. Bahkan hakim pun tidak bisa bertanya dan melihat ekspresi ketika orang tersebut memberikan kesaksiannya. Di sisi lain, ujarnya, pasal tersebut tidak lagi relevan. Teknologi saat ini sudah berkembang pesat. Jika ada seorang saksi tidak bisa datang ke persidangan karena alasan sesuai dengan pasal tersebut, maka dapat dilakukan via komunikasi visual (teleconference).
Sumber: Laman Resmi Mahkamah Konstitusi
Komentar Anda